Archive for the 'Knives Articles' Category

06
May
11

Legalisme Pisau

Menarik  juga sih memerhatikan sumbang saran dari beberapa sumber tentang upaya2 legalisasi membawa pisau. Tapi pembahasan ini juga harus dilihat dari berbagai latar belakang sehingga didapat pemahaman yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Latar belakang historis malah harus dilihat lebih seksama karena mencopot faktor kesejarahan justru akan menghilangkan salah satu konteks yang sangat penting.

UU yang saat ini diterapkan di negeri ini soal pisau dan senjata tajam adalah warisan mentah2 dari pemerintahan Hindia Belanda alias pemerinatahn kolonial yang pernah menjajah Indonesia selama beberapa waktu. Jadi cara berpikirnya juga adalah cara berpikir penguasa yang ingin menguasai seluruh komponen kehidupan masyarakat di dalamnya. Dalam konteks ini negara bertindak sebagai anjing penjaga. Nah setelah penjajah hengkang dari negeri ini, maka pemerintah yang baru tanpa mau repot2 segera mengadopsi banyak peraturan dan UU yang dirasa bisa dilanjutkan tanpa banyak melakukan perubahan.  Karena alamiahnya birokrasi atau pemerintahan negera Indonesia adalah kelanjutan dari negara kolonialisme Hindia Belanda, maka akan lebih nyaman jika tinggal melanjutkan aja apa yang udah ada.

Itu sebabnya jika ditelaah lebih dalam seberapa relevankah UU tentang senjata tajam itu saat ini, maka bisa disimpulkan bahwa UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan yang saat ini tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Judulnya aja udah ketinggalan jaman dan nggak relevan. Tapi mengubahnya serta merta juga nggak mudah. Asumsi2 dan pemikiran2 yang melatar belakanginya juga harus up to date dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ini untuk mencegah jangan sampai kita berpikir dalam kerangka yang sama dengan para penjajah.

Secara pribadi, pertama-tama gua menolak dengan keras anggapan bahwa pisau dan sejenisnya adalah senjata tajam (edged weapon). Gua pernah protes sama petugas di sebuah toko buku karena mereka menjejerkan majalah pisau bersebelahan dengan majalah2 pistol dan senjata api lainnya. Ini masalah tentang cara berpikir. Memang sebuah pisau bisa juga didesain sedemikian rupa sehingga kehilangan fungsi tools-nya dan semata-mata hanya jadi sebuah senjata. Tapi ini kan masalah kreativitas pembuatnya. Nggak ada yang bisa membatasi kebebasan berkreativitas seseorang. Dan fungsinya pun dengan sendirinya akan bergeser pula dari tools mungkin ke arah hiasan dinding, properties, atau mungkin malah mainan.

Nah, kalau kita sendiri mulai bisa menerima bahwa pisau adalah alat/tools, atau perkakas spesifik untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas tertentu, maka akan terasa janggal kalau untuk memilikinya atau membawanya kita diharuskan memiliki izin khusus. Kalau membawa pisau sebagai cutting tools memerlukan izin, bagaimana kalau kita ingin membawa senter sebagai illumination tools. Jangan lupa ada banyak senter yang didesain sebagai impact weapon pula. Demikian juga dengan ballpoint, banyak yang didesain dengan kemampuan sebagai impact weapon.

Coba deh cari input dari temen2 di PERBAKIN tentang bagaimana kondisi nyata mereka dengan hobby mereka yang masuk kategori senjata. Apakah kita mau kalau pisau kita diperlakukan seperti senjata api itu? Apakah kita siap dengan regulasi yang sedemikian ketat atas hobby kita yang satu ini? Apakah kita siap bayar harga untuk kepatuhan kita pada peraturan yang suatu hari akan diterapkan atas hobby kita ini?

Gua adalah seorang warga negara yang taat hukum dan nggak ada niatan juga untuk jadi pelanggar hukum. Gua gak rela kalau semua atau sebagian besar dari komponen kehidupan gua diatur oleh negara. Gua nggak rela kalau negara ikut mengatur apa yang boleh dan nggak boleh gua bawa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pertimbangan pribadi gua nggak mau bawa2 golok, nggak mau bawa2 celurit, nggak mau bawa2 kerambit/balisong, nggak mau bawa2 dagger atau push dagger, nggak mau bawa2 pisau automatic, dan benda2 lain yang sifatnya intimidatif dan kurang akrab dengan masyarakat kebanyakan. Gua pengen mendidik diri sendiri tentang pisau sebgai cutting tools yang spesifik, juga sekaligus ingin ikut mendidik masyarakat di sekeliling gua tentang pisau.

Gua bahkan mulai mendidik anak2 gua sejak kecil untuk respek pada alat yang satu ini. Gua pikir ini tugas berat kita sebagai hobbyist pisau yang utama, ketimbang berbagai upaya legal yang masih panjang jalannya dan belum terduga hasilnya. Dan lagi ini hanya pendapat pribadi seorang penggemar pisau aja kok.

23
Dec
10

memilih pisau. lagi!

Setiap orang saat memulai sebuah hobby tertentu kadang mengalami kesulitan yang sama, yaitu kebingungan untuk memulai dari mana. Kebingungan yang sama dialami kita para penggemar pisau. Terlalu banyak pilihan, terlalu banyak model, terlalu banyak genre dan aliran, tapi sayang seribu sayang uang kita terbatas.

Tapi di sisi lain kita harus juga bersyukur bahwa kita sekarang punya alat canggih yang namanya internet. It helps a lot. Internet membawa kita masuk dalam dunia informasi yang sangat luas seperti forum2 dan lain2. Dari situ kita bisa belajar banyak tanpa perlu mengangkat pantat dari kursi kita atau keluar kamar. Kita bisa gali informasi sebanyak mungkin mengenai sebuah barang tertentu yang akan kita beli. Tapi tetap saja keputusannya ada di tangan kita. Dan kadang harus diakui kebanyakan informasi juga malah bikin kita makin bingung dalam mengambil keputusan akhir.

Secara konstruksi paling sedikit ada dua jenis pisau yaitu pisau lipat atau pisau fixed. Putusin aja dulu apa yang kita mau beli.  Kalau tujuan kita untuk membeli pisau adalah untuk keperluan dibawa sehari-hari (EDC/everday carry), maka pilihan atas pisau lipat harus dijadikan prioritas, meskipun gak ada salahnya juga seseorang memutuskan membawa pisau fixed sebagai EDC. Kalau kehadiran kunci (locking system) bukan sebuah keharusan maka kita bisa memasukkan friction folder dan slipjoint sebagai pilihan. Tapi kalau merasa harus punya folder yang pakai sistem penguncian, maka pilihan tinggal pada liner lock (dengan berbagai variannya), lockback, frame lock, axis lock, dll.

Sudah dibatasi demikian pun kita pasti masih akan sangat kesulitan. Gimana kalau kita tentukan apakah kita akan membeli production knives (pisau pabrikan) atau custom knives. Katakanlah kita memilih production folding knives. Gua sendiri akan memilih dari produsen penyandang merek2 berikut secara acak: spyderco, benchmade, kershaw, al mar, dan fallkniven. Ada banyak merek lain pastinya tapi jarang kebutuhan kita nggak terjawab dengan merek2 tadi.

Mari pindah ke jenis pisau fixed. Gua pribadi akan memilih dari merek2 ini secara acak: ESEE Knives, fehrman, busse, scrapyard knives, swamp rat knives, fallkniven, dan BRKT. Hampir gak ada kebutuhan kita akan pisau fixed blade yang tidak akan terjawab oleh produsen2 yang menyandang merek2 barusan.

Sekali lagi acuan yang gua buat di atas semata-mata adalah preferensi pribadi. Ada banyak lagi merek2 bagus lain yang eksis di dunia pisau tapi gua lebih berani berkomentar atau berpendapat terhadap pisau2 yang pernah gua punya atau pegang sendiri.

03
Dec
10

Memilih Pisau: My Way!

Saat ini sedang jadi sebuah fenomena kecil di mana kesulitan ekonomi di AS membawa sedikit berkah kepada kita dengan semakin murahnya pisau2 custom yang berkualitas. Semuanya bermuara pada reputasi yang dibangun dan diperjuangkan oleh sang pembuat pisaunya sendiri.

Dengan semakin banyaknya tawaran yang tersedia, maka pilihan kita akan semakin sulit dan kompleks. Namun sekali lagi dengan berpegang pada prinsip bahwa pisau adalah sebuah alat/tools yang spesifik, maka pemilihannya pun harus didasarkan pada kebutuhan yang spesifik. Kita harus membuat pengerucutan dari apa yang mungkin kita pilih. Ada banyak komponen yang bisa diperhitungkan saat memilih tapi dalam tulisan ini gua hanya akan membahas hubungan antara sebuah jenis pisau tertentu dengan baja yang digunakan dalam sebuah pisau tertentu pula.

Persoalan utama bagi kita sendiri kadang adalah kita nggak tahu persis apa yang kita sedang cari. Kita nggak dapet gambaran pisau model apa yang kita suka atau kita nggak suka secara spesifik. Kadang uang malah jadi tolok ukur yang paling utama.

Secara ideal sebuah pisau tertentu sangat cocok atau sebaiknya menggunakan baja tertentu karena nggak ada satu pun baja yang bisa menjawab semua kebutuhan pisau akan baja. Seperti juga nggak ada satu pisau pun yang menjawab semua kebutuhan kita akan pisau atau alat potong. Kadang kita harus melakukan kompromi atau malah mulai lagi mencari dari awal dan menunda dulu pembelian sampai ketemu kombinasi yang mendekati idealisme kita.

Sebagai langkah awal, memahami karakter2 baja adalah sangat penting. Setiap baja memiliki karakter yang berbeda. Setiap baja ada kelebihannya dan ada kelemahannya. Jika 10 pembuat pisau menggunakan baja yang sama, maka bisa diharapkan akan ada 10 cara memerlakukan baja tersebut secara berbeda. Nggak ada satu baja pun yang sempurna atau paling superior. Baja yang terbaik pun jika heat treatmentnya buruk akan kalah oleh baja biasa2 aja yang di heat treatment dengan baik. Jadi kenapa nggak cari baja yang baik dengan heat treatment yang baik pula.

Dengan pola pikir seperti ini akan aneh kalau kita menemukan produsen atau knifemaker yang menawarkan sebuah pisau hunter dengan baja D2 tapi juga menawarkan sebuah khukri dengan baja D2 pula. Pisau hunter nggak akan digunakan secara keras dan karakter D2 yang wear resistance dan agak sedikit getas membuatnya pas untuk sebuah hunter, tapi begitu diaplikasikan untuk sebuah khukri yang akan dipaksa kerja keras dengan benturan2 yang keras pula maka karakter D2 langsung kelihatan kelemahannya. Dalam pisau pertama kemampuan wear resistance memang lebih dicari, tapi dalam jenis pisau kedua kita harus mencari baja yang mempunyai karakter menang pada sisi toughness dan mau nggak mau sedikit mengorbankan kemampuan memertahankan ketajamannya. Kuncinya terletak pada kompromi yang pas demi performa yang diharapkan.

Kadang kompromi juga harus dilakukan dengan memertimbangkan kemampuan rata2 pengguna atau pemilik pisau untuk menajamkan kembali pisau yang dimilikinya. Katakanlah 12C27 yang akan mencapai performa terbaiknya pada rentang kekerasan sekitar 61-62 HRC, namun dengan kekerasan seperti itu hampir bisa dipastikan banyak pihak akan kesulitan mengasah pisaunya kembali begitu tumpul. Itu sebabnya produsen kemudian memutuskan untuk mengeraskannya pada rentang 57-59HRC.

Sebenarnya untuk soal ini gak ada resep yang pasti atau kartu mati. Semuanya masih bisa dikompromikan dengan beberapa faktor lain. Menambahkan toughness pada pisau tertentu kadang bisa dilakukan dengan menerapkan differential hardening pada baja carbon tertentu, sedikit menurunkan kekerasan (pada baja carbon juga), mengubah edge geometry, dan lain-lain.

Jadi kalau gua yang diminta membuat semacam guideline buat gua sendiri dalam memilih pisau, maka gua gak akan bergerak jauh dari pakem yang gua pilih sendiri. Kebetulan secara pribadi gua lebih berat ke arah baja carbon dari pada stainless steel. Jadi meskipun banyak baja SS yang bagus gua lebih menjatuhkan pilihan seperti:

Pisau hunter: D2, A2, W2, O1, dst.

Pisau tactical: A2, D2, ,M2, M4, CPM 3V

Pisau utility: W1/W2, 1095, 1084, Cruforge V, O1, CPM 3V, dll

Pisau ukuran besar: 1084, 1095, 5160, CPM 3V, A2, O1, INFI, 52100, S7, L6, dll

Pisau lipat: D2, ATS34/154CM/VG10, ZDP189, 1095, M390, M4, CPM D2, CPM 154, Duratech 20CV, dll.

Kalau orang lain diminta bikin guideline seperti di atas pasti akan beda lagi preferensinya. Sekali lagi itu bukan kartu mati. Gua siap berkompromi selama gua bisa dapet jalan tengahnya.

Hidup harus bisa berkompromi, dalam hal apa pun.:)

 

28
Oct
10

a quest for a perfect knife

Jadi inget waktu umur sepuluh tahun gua punya foto dengan sebilah pisau buatan lokal dengan handle tanduk kerbau dari sebuah kampung di pinggir danau Toba. Sampai puluhan tahun sesudah itu, gua masih dalam perjalanan mencari pisau yang sempurna.

Hobi ini bahkan sempet on-off, maklum pada masa itu internet belum ada. Gua mengira diri gua ini satu2nya orang gila yang punya hobi main dan kumpulin pisau. Pada masa remaja itu udah biasa kalau tangan berdarah karena kepotong pisau. Gua bahkan sering mainin silet kalau nggak ada kerjaan. Gua nggak hanya melemparkan pisau ke pohon atau ke kayu, bahkan kikir gua copot handlenya dan bagian tang-nya jadi bagian untuk dilemparkan ke pohon.

Tapi hobi ini sempet mati belasan tahun, sampai suatu hari gua ketemu seorang temen yang ternyata koleksi pisaunya sebanyak dua lemari. Kontan gua terbakar lagi dengan pisau. Itu terjadi di akhir tahun 1990-an. Dan sampai hari ini pisau adalah bagian dari hidup gua. Gua nggak hanya membeli dan menjual pisau, tapi gua menikmati semua dimensi tentang pisau seperti aktif di forum pisau, baca majalah pisau, ngobrol tentang pisau di telepon, belajar membuat pisau, belajar tentang baja yang banyak dipakai di industri pisau, dan bahkan berantem sama istri gara2 pisau. Semuanya sama2 dinikmati.

Dan waktu udah masuk pernikahan dan punya anak, maka pisau juga mulai masuk dalam dimensi yang berbeda. Banyak nafsu yang harus ditahan karena prioritas udah bergeser. Gak bisa lagi seenaknya lihat di internet atau majalah terus cocokin sama kondisi dompet terus dibeli. Ada banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan. Tapi upaya untuk mencari pisau yang “sempurna” terus dijalankan, terus diupayakan. Tapi selera juga mulai bergeser, pengetahuan bertambah. Pisau aliran taktikal mulai diabaikan. Pisau2 yang serem2 nggak digubris lagi. Pisau2 non sense udah gak dilirik lagi.

Jumlah pisau memang jauh berkurang dibanding dulu, tapi gua makin selektif dan makin sempit pilihannya. Ada faktor lain yang kelihatannya memegang peranan penting, yaitu FU alias faktor umur. Mulai nggak suka lihat pisau yang di-coating hitam, bead blast, atau coating yang aneh2. Gua bisa dengan cepat memutar selera gua jika melihat pisau yang gua anggap lebih mendekati model yang “gua” banget. Ketertarikan pada slipjoint misalnya udah lama menggelora di hati tapi baru dua tahun belakangan ini bener2 terealisasi. Dan fatalnya keterikatan pada slipjoint justru dimulai dari custom slipjoint. Ini fenomena gawat karena custom langsung dijadikan standar. Tapi untungnya gua nggak terjebak di situ dan tetap bisa menghargai GEC, Case, Schaat & Morgan, dan Queen.

Dulu gua nggak pernah melirik custom hunting knives, tapi sekarang gua menganggap bahwa pattern ini lebih mendekati dunia nyata dibanding pisau2 taktikal. Pisau2 fix utility sekarang ini lebih banyak gua lirik dari pada model2 combat yang nggak jelas kegunaan spesifiknya walaupun kelihatannya cool.

Gua sadar bahwa pisau sempurna itu absurd. Tapi perjalanan ke arah sana sangat lah nikmat. Gua lebih menikmati perjalanannya ketimbang tujuannya sendiri. Mungkin pencarian terhadap pisau sempurna akan berlangsung seumur hidup, sama panjangnya dengan perjalanan kita mencari jati diri kita sendiri.

09
Oct
10

pisau besar atau pisau kecil

Gua pribadi jarang punya pisau besar. Kebutuhan mendikte apa yang ingin gua miliki. Kadang terpancing juga pengen punya pisau besar walaupun gak ada alasan yang spesifik kenapa harus memilikinya. Pernah punya pisau besar dengan panjang blade 9″. Tapi nggak lama. Pisau dengan ukuran sebesar itu dengan baja CPM 3V sangat menarik untuk dipakai tapi setelah beberapa bulan belum juga ada kesempatan untuk menggunakannya, maka gua memutuskan untuk melepasnya pergi.

Kalau gua punya aktivitas yang banyak membutuhkan pisau besar sekelas chopper mungkin akan sangat menarik. Tapi dengan tinggal di sebuah kawasan ber-setting perkotaan, maka kebutuhan akan pisau besar justru sangat kecil. Kebetulan gua sendiri bukan tipe penggemar pisau yang menonton TV sambil mengelus-elus pisau kesayangan sampai bosan terus disimpan lagi. Kalau pisaunya jenis pisau lipat yang masuk dalam kategori EDC, maka gua akan memasukkan dia dalam rotasi EDC gua. Kalau kelasnya fix biasanya akan masuk sebagai barang dagangan atau user.

Sekarang ini pisau lipat kategori tactical udah gak masuk dalam rotasi EDC gua. Kalau ada kesempatan di mana gua “merasa” perlu membawa pisau dalam kategori tactical, maka gua akan memilih fix blade dengan ukuran kecil dan meletakkannya di tubuh dengan menggunakan static cord. Tapi ini juga gak selalu jadi opsi standar gua. Pisau besar selalu jadi kendala untuk menyimpan dan menggunakannya saat diperlukan. Ada banyak orang membawa pisau dengan alasan self defense tapi tidak mempertimbangakan dua aspek penting yaitu carry method and deployment.

Orang berpikir bawa pisau atau bisa bela diri dengan pisau aja sudah cukup. Padahal kedua faktor di atas harus dipikirkan matang2. Seseorang gak bisa bawa pisau untuk self defense tapi meletakkannya di dalam ransel. Atau membawa pisau dengan panjang blade 4″ tapi selalu menonjol kalau dia duduk atau dia kesulitan duduk justru karena ada pisau mengganjal.

Lepas dari alasan self defense, maka gua sendiri lebih tertarik dengan pisau2 berukuran kecil sampai sedang. Dengan pertimbangan utilitas, maka pisau dengan panjang blade di atas 6″ semakin sulit dicari aplikasinya. Lain cerita kalau kerjaan gua adalah penebang pohon atau gua secara rutin masuk ke hutan dan membuka jalan baru, Kebutuhan gua mendikte apa yang gua inginkan.

Gua seneng kenyataan bahwa pisau kecil lebih banyak kesempatan untuk dipakai. Di forum lain gua sering baca di mana para pemburu acap kali menguliti 2-3 ekor kijang hanya menggunakan sebuah slipjoint. Seperti sering gua share di sini atau di forum, gua menemukan kenikmatan memiliki pisau saat pisaunya gua gunakan, bukan saat sebuah paket diantar tukang pos dan gua bukanya dengan berdebar-debar. Kenikmatan memiliki pisau juga buat gua gak datang saat gua nonton TV sambil elus2 pisau kesayangan. Nonton TV gua lebih suka elus anak2 gua atau istri gua tentunya.:)

23
Sep
10

Mental Taktis

Beberapa waktu lalu seorang temen mengusulkan gua untuk belajar bela diri praktis jika ingin membawa pisau. Gak ada salahnya juga dengan usul seperti itu. Kalau ada waktu mau juga. Hitung2 olah raga.:)

Gua pernah muda, dan pernah mengalami saat2 di mana pisau2 tactikal adalah daya tarik utama dari dunia pisau. Bagaimanapun ada sedikit jiwa anak2 yang tertinggal di dalam jiwa kita meskipun kita udah makin bangkotan. Tapi seiring dengan waktu gua baru sadr bahwa yang penting bukanlah tactical toys-nya, melainkan tactical mentality atau kesiapan mental taktis lah yang lebih penting.

Kita bisa aja nggak perlu bawa pisau taktikal atau gak bawa senter taktikal, tapi mental kita seharusnya tetap taktis. Taktikal harusnya jadi sebagian dari gaya hidup, apalagi buat kita yang tinggal di kawasan perkotaan, di mana kita semua berpotensi untuk menjadi target kejahatan dengan berbagai modus operandinya. Belum lagi jika kita memerhitungkan faktor non-kriminal lain seperti bencana alam, kecelakaan, dll.

Memiliki mental taktis berarti memiliki kesiapan. Kita jarang terkejut dengan suatu kejadian. Dan kita jarang didapati mudah diberi kejutan karena kita selalu mampu mendeteksi ketidakberesan dan ketidakwajaran. Mental taktis adalah sesuatu yang perlu dilatih dan diasah terus. Gua sendiri akrab dengan konsep ini namun masih terus merasa harus memertajam insting taktikal gua sendiri. Masih jauh lah..

Hari2 ini gua gak lagi memasukkan pisau taktikal dalam rotasi EDC gua, dan kalau pun karena pertimbangan tertentu gua bawa pisau taktikal, maka pisau ini bukan satu2nya yang gua bawa. Gua pasti siapin pisau lain yang lebih bernuansa utilitarian untuk keperluan potong-memotong yang umum.

Banyak temen2 juga bawa senter, tapi alangkah baiknya juga memersiapkan baterai cadangan yang standby terus karena elu gak tahu seberapa sisa tenaga baterai yang ada dalam senter elu. Di samping itu gua sendiri masih bawa senter kecil sebagai keychain dan korek api. Gua masih pikiran backup jika senter utama kita gagal. Senter taktikal misalnya, gak akan maksimal manfaatnya jika penggunanya juga gak punya mental taktis. Banyak orang terpesona dengan senter taktikal-nya atau pisau taktikal-nya dan bukan kepada kesiapan mental taktikal dirinya sendiri. Pikirnya kalau ada pisau dan senter taktikal di bawaannya maka dia sudah tactical person. Dan yang lebih parah lagi, di Indonesia ini justru aparat penegak hukum lah yang biasanya gak punya mental taktis.

Banyak kejadian kritis yang seharusnya bisa dihindari atau diiminimalisasi kerusakannya jika saja kita atau malah aparat hukum semisal polisi punya mental taktis yang melekat. Sebut saja beberapa kasus seperti ketua DPRD Sumut yang tewas dipukuli demonstran padahal ada dalam kawalan polisi; perampokan bank oleh sekelompok orang bersenjata berat, penembakan markas polisi yang menewaskan anggota polisi; dan masih banyak cerita lainnya. Semuanya berawal dari rendahnya kesiapan mental aparat dalam menilai situasi kritis. Semuanya terjebak dalam aspek kejutan yang dilancarkan lawan.

Seorang jenderal besar pernah berkata: “Lu boleh aja kalah, tapi lu nggak boleh berhasil dikejutkan.”

07
Sep
10

Belajar dari luar sana

Hallo ketemu lagi…

Makin kita mengenal hobby kita yang satu ini semakin kita mulai selektif dalam membeli pisau yang kita inginkan. Kita mulai sibuk dengan materialnya, kita mulai sibuk cari review, kita mulai tanya2 apakah baja ini bagus atau nggak, dan sadar nggak sadar budget yang kita siapakan untuk membeli pisau juga semakin membengkak. Kita mulai melakukan perbandingan dan memerhitungkan banyak faktor.

Dan gua juga seneng banget menemukan beberapa temen mulai aktif di beberapa forum pisau di luar sana. Tinggal aktivitasnya aja yang kayaknya perlu ditambah selain juga mungkin bahasa seringkali jadi kendala. Mengingat bahasa Inggris gua juga nggak bagus2 amat, tapi yang penting berani aja selama nggak berkesan sok tahu. Yang harus diingat adalah perbedaan yang sangat jauh antara forum2 di luar sana dengan kaskus. Kaskus sangat kompleks, multi dimensi, riuh rendah, dan penuh anak kecilnya. Semua dibawa becanda di sana.

Forum2 di luar sangat spesifik dan punya kultur yang kental. Kita akan bisa merasakan sekali perbedaan2 spirit di setiap tempat yang berbeda. Tapi yang paling jelas dan kurang lebih sama adalah tingkat kedewasaan. Jauh sebelum gua kenal kaskus, di awal tahun 2000-an gua gabung di sebuah situs pisau yang namanya customknifedirectory dan knifeforum. Di sana pembicaraannya serius dan cerdas, dan kalaupun muncul becanda sifatnya dewasa banget karena memang juga jarang sekali ada remaja masuk ke sana mengingat urusan pisau adalah urusan umur di atas 18 tahun. Kebiasaan2 di situ membuat gua gak melihat forum diskusi sebagai tempat buang2 energi dan waktu untuk becanda. Dan satu lagi adalah forum2 di sana sangat ketat menerapkan peraturan. Kalau kita salah langsung ditegur dan kalau kita salah kamar langsung dipindah oleh moderatornya ke tempat yang lebih sesuai.

Ini kultur yang sangat berbeda dengan Indonesia yang bisa membuat peraturan bagus tapi nggak pernah bisa menegakkan peraturan. Kekacauan2 struktural yang seperti ini bisa jadi yang membuat kaskus gak pernah sepi dari problem teknis, meskipun tulisan ini nggak membicarakan kaskus secara spesifik. Kaskus sangat bersifat ABG dan sangat penuh dengan becanda, kalau boleh dibilang begitu. Banyaknya icon yang aneh2 dan dodol menunjukkan hal itu. Nggak salah juga sih, karena lain padang lain belalang. Tapi gua nggak percaya kalau hal2 yang sia2 itu nggak ada pengaruhnya terhadap performa kaskus secara keseluruhan.

Kembali ke forum2 di luar sana, gua lihat mereka sangat bersifat terbuka dan sportif. Berbagai perbedaan pendapat setajam apapun tetap berjalan dalam koridor diskusi dan gak pernah dibawa keluar dari jalur itu. Hampir gak ada yang hubungan pribadinya rusak karena berargumentasi hebat di internet. Mereka juga cepet kembali ke track awal begitu melihat gelagat sudah terjadi off topic. Sangat sedikit atau hampir nggak ada keinginan untuk menarik tema malah jadi jauh melenceng.

Mungkin ada orang akan bilang: “Biar aja mereka di sana begitu, kita di sini kan beda.” Atau kita bilang: “Jelek2 tapi tetep rumah sendiri.” Gak ada salahnya juga dengan pemikiran seperti itu, tapi kenapa juga kita gak berusaha ke arah yang lebih baik kalau arah itu bisa ditentukan oleh diri kita sendiri. Tulisan ini bisa dianggap sebagai oto-kritik alias kritik atas diri sendiri mengingat gua juga aktif di kaskus. Mudah2an bisa ditanggapi secara positif dan konstruktif.

Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir bathin karena gua banyak salah kata dan perbuatan.

18
Aug
10

Pisau yang gua pilih waktu bepergian lama

Gile lama banget nggak nulis. Beberapa hari lalu gua pergi ke Balikpapan berdua Ben anak gua untuk menghadiri anak laki2 gua yang paling kecil, yang berulang tahun kedua saat dia lagi di rumah oma opanya.

Gua memerkirakan akan ada di sana selama lebih dari dua minggu. Untuk perjalanan selama ini gua rada kurang tenang kalau gua nggak bawa beberapa pisau sekedar untuk pegangan selama di tempat orang. Ada tiga pisau yang gua pilih, slipjoint Barlow buatan R.L. Smith; outdoor utility knife buatan Matt Bailey; dan tanto buatan Pohan Leu. Masing2 pisau gua bawa dengan alasan tersendiri. Barlow gua bawa untuk tujuan EDC, Matt Bailey gua bawa untuk jaga2 kalau ada yang ngajakin untuk berkegiatan di luar ruang, dan Pohan Leu tanto gua bawa untuk “if the shit hitting the fan” alias SHTF selama gua ada di tempat orang.

SHTF adalah sebuah konsep pemikiran sederhana di mana hal yang paling buruk bisa saja terjadi saat kita berada di tempat tertentu pada saat yang salah dan keadaan yang serba salah. Ini sebuah kondisi yang kita semua tidak pernah harapkan terjadi. Kadang kondisi ini lebih tertuju kepada pemikiran tentang kondisi darurat di mana pisau bisa jadi adalah pilihan terakhir sebagai sebuah alat yang dapat dipakai untuk memertahankan nyawa kita atau orang2 yang kita cintai. Kalau bisa memilih katana yang asli buatan master pedang dari Jepang akan sangat ideal, tapi kita juga tahu bahwa membawa pedang menghapus kesan self defense. Pedang lebih berkesan alat untuk perang. Sulit dibawa dan lebih sulit lagi menggunakannya.

Dua pisau pilihan pertama lebih gua pikirin karena pilihan pisau yang terakhir lebih kecil kemungkinannya terjadi. Pilihan atas pisau slipjoint lebih kepada pisau itu adalah pisau yang paling banyak gua pakai sementara pisaunya Matt Bailey memang lagi gua cari kesempatan untuk dipakai. Gua pengen lihat patina muncul di sana. Banyak orang gak siap punya pisau berbaja karbon dan rada terkejut melihat bercak yang timbul pada pisau berbaja karbon saat mulai kenal dipakai. Gua pribadi lebih melihatnya sebagai tanda karakter dan tanda dicintai. Ada banyak pisau bagus yang nggak terlalu memohon untuk dipakai, tapi ada banyak juga pisau bagus yang dari awalnya udah teriak2 minta dipakai.

Memang selalu saat blade pada pisau kita mulai ada lecetnya, maka akan ebih enak dan lebih ringan perasaan kita untuk menggunakan pisau itu lebih jauh lagi. Seorang penggemar flaslight/senter pernah bilang kalau dia punya senter baru dia akan jatuhin dulu minimal satu kali sampai ada bekasnya baru dia tenang memakai senter itu. Analogi ini berlaku juga buat pisau.

Ini adalah pendapat dan pengalaman pribadi. Penasaran juga sih pengen tahu pilihan dan alasan temen2 lain dalam kesempatan berbeda saat harus memilih pisau yang harus dibawa dalam suatu perjalanan.

06
Aug
10

Traditional folding knives

Kalau elu pernah bawa pisau sebagai EDC (everyday carry) dengan tujuan utility, maka elu akan pernah rasain gimana canggungnya mengeluarkan pisau dari tempat penyimpanannya lalu menggunakannya di depan orang banyak atau di tempat umum.

Kecanggungan ini sebenarnya pertama kali berangkat dari pandangan kita sendiri tentang pisau dan membawa pisau. Jika kita memandang pisau semata-mata sebagai alat yang meringankan banyak pekerjaan manusia maka kita akan lebih tenang menggunakannya. Gua sering ketemu orang yang berdebar-debar membawa pisau lipat kecil waktu mau masuk mall atau bandara.

Konsep2 pisau sebagai senjata taktis membuat pembawanya kadang risih sendiri atau malah ketakutan sendiri saat bakal ketahuan bahwa dia membawa sebuah pisau. Gua pribadi seringkali bawa pisau dari genre taktikal walalupun masih dalam ukuran yang “pantas”. Tapi biasanya itu bukan satu2nya pisau yang gua bawa sehingga kalau gua perlu untuk utility maka gua akan pilih pisau lain semisal Opinel atau slipjoint.

Selain pisau EDC yang “low profile”, maka cara kita mengeluarkan dan menggunakan pisau kita akan sangat menentukan bagaimana pandangan orang terhadap pisau yang kita bawa. Saat membuka Opinel atau slipjoint gua selalu membukanya di bawah meja atau dengan posisi rendah di bawah pinggang. Dan saat pisau akan gua pakai pun maka benda yang mau gua potong yang gua turunin dan bukan pisaunya yang naik, apalagi sampai sebatas dada.

Gua selalu menekankan bahwa kenikmatan membawa pisau bukanlah karena kita mengantongi pisau lipat custom seharga $800, tapi lebih kepada waktu kita bisa merasakan manfaat dari pisau itu sendiri saat kita gunakan. Gua cukup nyaman dengan pisau EDC gua saat ini karena praktis di badan gua nggak merasa sedang mengantongi sesuatu. Secara umum diakui bahwa kita kebanyakan hanya menggunakan porsi 2″ dari panjang bilah pisau kita, sehingga membawa pisau dengan bilah lebih panjang hampir merupakan sebuah pemborosan.

Ini pisau Case Select Tiny Texas Toothpick dengan panjang terlipat hanya 3″ dan panjang terbuka 5,5″. Bajanya ATS-34. Handlenya adalah Mediteranian Blue bone. Gak ada yang serem dari penampilan pisau ini. dan sesuai dengan namanya ukurannya pun memang sangat mungil. Lihatlah perbandingannya dengan kelingking gua. Istri gua langsung minta untuk dia bawa aja. Tapi gua juga tahu dia sering hilangin barang2 kecil makanya belum gua ijinkan bawa yang satu ini.

Gak akan ada orang takut lihat pisau ini dalam keadaan terlipat, dan dalam keadaan terbuka pun gak ada tampilan yang mengancam orang lain. Tidak ada bilah berwarna hitam dengan sedikit gerigi yang seram dan suara yang nyaring saat dia dibuka dengan satu tangan. Slipjoint ini harus dibuka dengan dua tangan dan pelan2. Kemarin sore gua ajarin anak laki2 gua untuk buka dan lipat pisau ini dengan aman. Ngajarinnya kebetulan bukan di rumah tapi di sebuah tempat minum kopi di sebuah mall. Gak ada orang yang perhatiin saking kecilnya pisau tersebut. Anak gua juga exciting banget belajarnya. Pisau non-locking seperti ini mengajarkan penggunanya untuk tetap bersikap low profile dan menggunakan pisau sejenis ini dengan bertanggung jawab.

Dengan benda ini hampir semua keperluan untuk memotong atau mengiris bisa dilakukan dengan baik. Apakah kita atau orang lain akan bersikap sama , jika yang kita keluarkan dari kantong adalah sebuah pisau lipat taktikal yang notabene sangat seram penampilannya. Ngomong2 ini adalah pisau yang luar biasa seksi dan sederhana ditambah baja premium ATS-34, what else you could ask for more. To hell with your tatical knives.

30
Jul
10

Pisau Militer

Tertarik juga untuk ikutan bahas mengenai pisau militer yang banyak dibicarakan di kaskus. Terus terang selama ini nggak terlalu minat dengan pisau yang secara khusus digunakan oleh pihak militer. Tapi sekedar memerluas wawasan apa salahnya juga.

Banyak orang yang suka dengan pisau militer berangkat dari satu asumsi yang salah, bahwa militer pasti banyak tahu tentang pisau karena itu adalah salah satu perlengkapan standar mereka. Secara mendasar bagi seorang tentara, pisau pertama-tama adalah alat dan kedua di saat terpaksa bisa juga menjadi senjata. Dan sama halnya dengan senjata api yang mereka miliki atau bawa saat bertempur adalah seperangkat peralatan yang memang secara resmi dikeluarkan oleh kesatuan masing-masing. Artinya tidak ada preferensi pribadi di sana.

Bahkan di negara besar seperti AS pun, pisau standar militer praktis belum mengalami perubahan sejak Perang Dunia II. Ini salah satunya disebabkan oleh dasar pemikiran bahwa pisau praktis tidak terlalu banyak menuntut perkembangan yang berarti dibanding senapan serbu atau peralatan lain semisal NVD, radio komunikasi, illumination tools, dll.

Di lain sisi berasumsi bahwa seorang tentara pasti mengetahui soal pisau juga adalah asumsi yang naif. Gak semua pengguna komputer adalah computer geek, atau gak semua pengemudi mobil adalah orang yang “gila” mobil. Sebagian besar dari mereka menganggap itu hanyalah alat atau perkakas yang diperlukan dalam memerlancar tugas2 mereka. Dan jangan lupa pisau yang bagus juga relatif masih mahal buat upah seorang tentara bahkan di negara maju sekali pun.

Banyak anggota militer lebih memilih kombinasi sebuah multitools ditambah dengan pisau yang dikeluarkan resmi oleh kesatuan mereka. Dan mereka gak terlalu peduli dengan kualitas yang mereka dapat dari pisau tersebut karena kalau rusak pun akan sangat mudah diberi gantinya dari gudang perbekalan. Dalam pasukan elit tertentu di mana kadang gengsi operatornya lebih besar, mereka rela aja merogoh uang dari kocek sendiri untuk membeli pisau2 yang mereka anggap bagus sesuai dengan kemampuan mereka.

Secara umum pisau2 yang dikeluarkan secara resmi oleh kesatuan2 militer biasanya adalah pisau2 berkualita rendah yang kadang memiliki kelengkapan2 yang nggak ada gunanya atau paling tidak berlebihan. Ide membuat pisau dengan hollow handle kelihatannya jenius dengan bisa memasukkan berbagai alat bantu ke dalamnya, tapi pada saat yang sama desain seperti ini justru memerlemah konstruksi pisau secara keseluruhan.

Memberi gerigi pada blade atau gergaji pada punggung pisau juga kelihatannya hebat, namun fitur ini justru membuat titik lemah di mana pisau justru patah pada area tersebut. Pisau militer lain juga menaruh lubang besar pada blade di mana lubang justru juga jadi titik lemah gagalnya sebuah pisau. Bagaimana pun simplenya pisau Kabar fighting knife masih jadi tolok ukur yang terbukti dan sangat masuk akal. Beberapa knifemaker di luar sana juga kadang tertarik untuk mendesain combat knife sesuai interpretasi mereka. Buat gua pribadi pisau militer yang didesain secara custom oleh knifemaker yang mungkin aja punya latar belakang combat akan lebih menarik ketimbang pisau militer standar yang dibagikan oleh kesatuannya.

Tolong ajarin lah kalau ada yang punya ide cemerlang soal ini.:)




April 2024
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 31 other subscribers

eye candy

Categories